Selasa, 19 Juli 2016

MENANGANI AKULTURASI SIKAP HEDONISME ANAK PANTI MENGGUNAKAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)



MENANGANI AKULTURASI SIKAP HEDONISME ANAK PANTI MENGGUNAKAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)

A.    Latar Belakang Masalah
Anak yang tinggal di panti asuhan memiliki  latar belakang yang berbeda-beda, seperti anak yang dibuang oleh orang tuanya, yatim, piatu, yatim piatu, broken home dan duafa. Dengan latar belakang tersebut menjadikan perbedaan yang beraneka ragam dalam kepribadian anak meskipun diasuh oleh pengasuh yang sama. Dengan latar belakang kehidupan anak yang demikian tadi, mereka tidak hanya membutuhkan bantuan yang sifatnya materi saja namun yang lebih penting adalah kasih sayang, dukungan, pengarahan, pendidikan dan perhatian dari pengasuh. Dalam mendidik anak panti, tentunya berbeda dengan mendidik anak pada umumnya, baik yang tinggal di asrama, di pondok pesantren, tinggal bersama saudaranya ataupun yang tinggal bersama orang tuanya.
Keberadaan anak pada umumnya diharapkan oleh kedua orang tuanya, mereka mendapatkan kasih sayang, perhatian, pengarahan, bimbingan dan tercukupi kebutuhan materinya. Berbeda dengan anak panti yang merasa keberadaannya tidak diakui, merasa tidak memiliki siapa-siapa, butuh kasih sayang, perhatian, pengarahan, materi  dan sering kali merasa iri dengan teman-temannya yang ada di luar panti baik yang sifatnya materi maupun non materi. Selain itu, dengan anak tinggal di panti menjadikan mereka merasa rendah diri dan tertutup. Dengan latar belakang anak seperti itu, menjadi tantangan yang besar bagi pengasuh dalam membimbing dan mendidik anak panti agar mereka memiliki kepribadian yang baik, memiliki semangat hidup yang tinggi dan memiliki bekal yang baik untuk masa depannya.
Pola pengasuhan dan pendidikan pada saat anak masih hidup bersama dengan keluarganya sangat berpengaruh terhadap kelanjutan perkembangan kepribadian anak. Selain itu, apabila anak terbiasa dengan hidup semaunya sendiri ketika di rumah menjadikan anak susah untuk beradaptasi dengan tanggung jawabnya sebagai anak panti semisal kewajiban untuk sholat berjamaah, menjaga kebersihan panti dan inventaris yang dimiliki panti, mengikuti segala aktivitas yang ada di panti, belajar dengan teratur dan merawat barang milik pribadi dengan baik. Latar belakang sebelum anak masuk panti sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak sehingga seorang pengasuh harus dapat menyikapi dan memberikan cara pengarahan yang berbeda terhadap setiap anak. Apalagi di era modern seperti sekarang ini yang menilai seseorang dikatakan hebat dari segi kuantitas bukan kualitas.
Perkembangan panti X yang semakin maju dan dipercaya oleh masyarakat menjadikan banyak donator yang ingin memberikan sebagian riskinya untuk anak panti, baik berupa uang, makanan, baju dan lainnya. Dengan semakin sejahteranya panti, memiliki fasilitas yang baik, makanan yang enak dan sering kali lebih, undangan dari banyak kalangan dan berbagai bantuan lainnya. Hal ini memiliki nilai positif bagi perkembangan panti untuk tetap survive tetapi memiliki dampak negative bagi perkembangan anak panti karena anak panti terbiasa hidup enak, makan enak, memiliki cukup uang untuk membeli sesuatu yang mereka inginkan. Selain dari fasilitas panti yang memadai, pola pengasuhan di panti X juga semakin melemah karena pengurus/karyawan panti lebih terfokus pada administrasi panti dari pada pengasuhan terhadap anak panti.
Dampak dari gaya hidup yang nikmat dan pola pengasuhan yang semakin melemah menjadikan munculnya gaya hidup hedonism anak panti. Gaya hidup hedonism terlihat dari cara mereka memanfaatkan waktu untuk bersenang-senang seperti menyanyi sambil gitaran dengan tidak mengenal waktu, menonton TV dengan mencuri-curi waktu, bercanda dan mengobrol tiada henti, ngumpul sambil makan-makan dan aktivitas lainnya. Hal ini tentu memberikan dampak bagi tugas mereka sebagai anak panti dan  pelajar yaitu memiliki semangat yang rendah untuk belajar, susah mengikuti kegiatan ubudiah di panti dan kewajiban lainnya. Dampak negative dari sikap hedonism anak panti adalah anak menjadi matrealistik, konsumtif dan pro hedonism instan.

B. Tujuan
Tujuan dari menangani akulturasi gaya hidup hedonism anak panti menggunakan Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), yaitu :
1.      Membantu anak panti untuk memperoleh konsep hidup yang baik dan benar, bahwa dengan cara pandang hidup yang hedonis dengan menggunakan banyak waktunya untuk bersenang-senang akan merugikan dan menghancurkan masa depan anak panti
2.      Mengubah dan memperbaiki perilaku hedonis anak panti dengan terlebih dahulu mengubah pola pikir yang irrasional menjadi rasional, bahwa perilaku hedonis hanya akan memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang sementara yang sifatnya hanya sebatas kesenangan jasmani dan actual
3.      Menghilangkan gangguan emosional yang merusak. Dengan gaya hidup hedonism akan menjadikan emosional anak panti semakin susah terkontrol karena gaya hidup hedonism lebih cenderung pada pemuasan id.
4.      Membangun pribadi yang menarik, toleran, komitmen dan mampu berpikir dengan logis sehingga mampu membangun konsep diri yang tepat dan terhindar dari sifat matrealistik, konsumtif dan pro hedinisme instan.

    C.  Komponen
1.      Anak Panti
Anak panti adalah seorang anak yang tinggal di panti asuhan karena berbagai alasan seperti yatim piatu, yatim, piatu, broken home, dibuang/diterlantarkan orang tuanya dan duafa. Anak panti cenderung mengalami kelambatan dalam perkembangannya baik dari sisi intelektual, sosial dan emosional.  Menurut Febiana (dalam Rosjid,2010), pola pengasuhan anak di panti asuhan menjadi hal yang memprihatinkan. Pengasuh yang seharusnya diharapkan mampu menggantikan peran orangtua dalam mengasuh anak, justru tidak bisa menjalankan perannya secara maksimal karena harus mengasuh banyak anak yang hidup di panti. Hal tersebut menjadi salah satu penyebab anak di panti asuhan menderita tekanan sosial, emosional, dan fisik karena trauma pengalaman, kekacauan, dan stress dalam hidup. Pengalaman traumatis tersebut dapat menyebabkan anak menjadi kurang percaya diri dan merasa takut akan ditinggalkan, yang kemudian terwujud dalam kemarahan dan agresi terhadap figur otoritas (Taylor, 2013).
Anak di panti asuhan dapat merespon trauma di kehidupan mereka dengan menjadi antisosial karena masa lalu yang kacau, kurangnya kontrol dalam hidup dan ketidakpastian di masa depan. Anak panti asuhan sering mengalami depresi, gelisah dan mempunyai kesukaran seumur hidup dalam mengembangkan hubungan yang intim (Behrman, Kliegman, & Arvin, 1996). Hambatan dalam mengembangkan hubungan yang intim, dapat berpengaruh terhadap interaksi individu dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Derajat (dalam Rosjid, 2010), selama masa remaja individu mulai membangun perasaan tentang identitas dirinya, perasaan bahwa dirinya adalah manusia yang unik. Individu juga mulai menyadari sifat-sifat yang dimiliki dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dimasa depan, sehingga individu bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sternberg (dalam Gentry & Campbell, 2002), berpendapat salah satu tahap yang dilewati individu dalam masa remaja adalah membangun otonomi. Pada saat membangun otonomi, remaja mulai hidup dengan cara mereka dan sesuai pendapat mereka. Hidup di panti asuhan dengan aturan yang sudah ada tentu akan membuat remaja merasa di kekang. Akibat dari perasaan di kekang ini bisa membuat remaja menjadi membangkang atau sebaliknya menjadi tertutup dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dan membuat merasa remaja menganggap dirinya berbeda dari individu seusianya, hal ini tentu akan mempengaruhi penerimaan diri individu.

2.      Gaya Hidup Hedonisme
Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, manusia menurut kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan. Psikologi modern, khususnya psikologi yang memanfaatkan psikoanalisis Sigmund Freud memperlihatkan bahwa kecendrungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf tak sadar. Seringkali manusia mencari kesenangan tanpa diketahuinya. Tidak bisa disangkal, keinginan akan kesenangan  merupakan suatu dorongan yang sangat mendasar dalam hidup manusia
Para hedonis menpunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan. Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi. Kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subjektif belaka tanpa acuan objektif apapun. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subjektif dari sesuatu yang objektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.
Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsik, bukan karena kita secara subjektif belaka menganggap hal itu baik. Jadi, kebaikan dari apa yang menjadi objek kesenangan mendahului dan diandalkan oleh kesenangan itu.

3.      Rational Emotive Behavior Therapy (REBT)
Terapi rasional emotif behavior merupakan terapi yang berusaha menghilangkan cara berpikir konseli yang tidak logis, tidak rasional dan menggantinya dengan sesuatu yang logis dan rasional dengan cara mengonfrontasikan konseli dengan keyakinan keyakinan irasionalnya serta menyerang, menentang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan yang irasional.
Konsep-konsep dasar terapi rasional emotif behavior ini mengikuti pola yang didasarkan pada teori A-B-C, yaitu:
A = Activating Experence (pengalaman aktif) ialah suatu keadaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B = Belief System (Cara individu memandang suatu hal). Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat emosional atau reaksi individu positif atau negative.
Menurut pandangan Ellis, A (pengalaman aktif) tidak langsung menyebabkan timbulnya C (akibat emosional), namun bergantung pada B (belief system). Hubungan dan teori A-B-C yang didasari tentang teori rasional emotif dari Ellis dapat digambarkan sebagai berikut:
A--------C
Keterangan:
---: Pengaruh tidak langsung
B: Pengaruh langsung
Teori A-B-C tersebut, sasaran utama yang harus diubah adalah aspek B (Belief Sistem) yaitu bagaimana caranya seseorang itu memandang atau menghayati sesuatu yang irasional, sedangkan konselor harus berperan sebagai pendidik, pengarah, mempengaruhi, sehingga dapat mengubah pola pikir konseli yang irasional atau keliru menjadi pola pikir yang rasional.

     D.    Kompetensi Konselor
Konselor yang menggunakan pendekatan Rational Emotive Behavior Terapy harus mampu menjadi fasilitator, pembimbing dan pendamping konseli dalam perannya membantu konseli mengatasi masalah yang sedang dihadapi sehingga konseli dapat secara sadar dan mandiri mengembangkan atau meningkatkan potensi-potensi yang dimilikinya. Konselor berperan lebih aktif dibandingkan konseli dan konselor memiliki kemampuan untuk membantu konseli mengubah cara berpikir yang irrasional menjadi rasional.

    E.    Strategi
1.      Teknik-Teknik Rational Emotive Behavior Therapy yang dapat digunakan dalam proses konseling, yaitu :
a.      Teknik-Teknik Kognitif
Teknik kognitif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut menerangkan ada empat tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1) Tahap Pengajaran
Dalam REBT, konselor mengambil peranan lebih aktif dari pelajar. Tahap ini memberikan keleluasaan kepada konselor untuk berbicara serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidak logikaan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien tersebut.
2) Tahap Persuasif
Meyakinkan klien untuk mengubah pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Dan Konselor juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3) Tahap Konfrontasi
Konselor mengubah ketidak logikaan berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logika.

4) Tahap Pemberian Tugas
Konselor memberi tugas kepada klien untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya, menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan caranya berfikir.15
b. Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif adalah teknik yang digunakan untuk mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
1) Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan, tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2) Teknik Self Modelling
Digunakan dengan meminta klien berjanji dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia pada janjinya.
3) Teknik Assertive Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
c. Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional Emotif banyak menggunakan teknik behavioristic terutama dalam hal upaya modifikasi perilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1) Teknik reinforcement
Teknik reinforcement (penguatan), yaitu: untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis denagn jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
2) Teknik social modeling (pemodelan sosial)
Teknik social modeling (pemodelan sosial), yaitu: teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah tertentu yang telah disiapkan konselor.
3) Teknik live models
Teknik live models (mode kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan maslah-masalah.

2.      Prosedur Konseling
a.      Assesment
1)      Konseli memiliki sikap hedonis dalam hidupnya sehingga konseli memiliki semangat yang rendah dalam belajar, beribadah dan melakukan aktivitas yang positif
2)      Bentuk dari sikap hedonis yang dilakukan oleh konseli yaitu banyak menggunakan waktunya untuk tidur, menyanyi, bercanda, bermain, sering pulang ke panti malam hari dan konsumtif
3)      Konseli memiliki latar belakang yang kurang baik. Orang tuanya broken home dan ayahnya menelantarkan keluarganya sehingga konseli begitu membenci ayahnya
4)      Konseli dititipkan di panti karena ibunya tidak mampu untuk memberikan pendidikan, pengasuhan dan kehidupan yang layak bagi konseli. Selain itu, keluarga konseli juga merasa kewalahan dalam mengasuh konseli karena konseli berani melawan orang tuanya dan sangat susah dinasehati.
b.      Goal Setting
Mengubah cara berpikir dan berperilaku konseli yang tidak logis menjadi logis sehingga konseli mampu mengubah sikap hedonism kearah sikap yang positif. Dengan demikian, konseli mampu meningkatkan kualitas dirinya ke arah yang lebih positif yaitu memiliki semangat belajar yang tinggi, rajin beribadah dan memiliki semangat hidup yang baik.
c.       Langkah-langkah Konseling
1)      Langkah Pertama
Konselor menggunakan teknik kognitif berupa teknik pengajaran. Konselor menunjukkan kepada konseli bahwa sikap hedonismenya yang akan menghancurkan masa depannya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan yang irrasional. Konselor menunjukkan bahwa konseli mengembangkan pikiran hedonism pada perilakunya yang hedonis. Sikap hedonis akan menjadikan konseli bersifat matrealistik, konsumtif dan menilai keberhasilan secara instan (hedonism instan)
2)      Langkah Kedua
Konselor menggunakan teknik emotif berupa teknik self modeling dan assertive training. Konselor menunjukkan kepada konseli bahwa sikap hedonism konseli berkaitan dengan gangguan emosionalnya. Apabila konseli selalu berkehendak untuk menuruti kesenangannya yang cenderung mengarah pada id, kesenangan tersebut hanya bersifat actual dan jasmani yang akan merugikan masa depan konseli. Selain itu, konselor juga memberikan kebebasan kepada konseli untuk mengungkapkan perasaan-perasaan tertekannya yang mendasari sikap hedonism konseli.
3)      Langkah Ketiga
Konselor menggunakan teknik kognitif berupa teknik konfrontasi dan teknik behavioristic berupa teknik reinforcement. Konselor mengajarkan kepada konseli untuk memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan gagasan-gagasan irrasionalnya. Apabila konseli ingin memperoleh ketenangan jiwa dengan sikap hedonism, contohnya adalah menghabiskan banyak waktu untuk bercanda, belanja yang tidak perlu, bermain sehingga pulang panti terlambat dan sejenisnya. Hal demikian adalah cara berpikir dan tindakan yang salah karena cara tersebut akan memberikan dampat negative bagi perkembangan konseli. Konseli harus memperbaiki cara berpikirnya bahwa untuk dapat mencapai ketenangan jiwa adalah dengan melakukan usaha-usaha yang positif seperti mentaati aturan panti dengan rajin beribadah, rajin belajar, mengikuti acara yang diadakan di panti dan lainnya. Hal demikian tentunya memiliki nilai juang yang sifat kesenangannya bersifat batiniah yang dapat memberikan nilai positif bagi perkembangan konseli.
4)      Langkah Keempat
Konselor menggunakan teknik kognitif berupa teknik dan teknik behavioristic berupa teknik live models. Konselor menentang konseli untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang rasional dan menolak kehidupan yang irrasional. Sikap hedonism yang dikembangkan oleh konseli dalam kehidupan sehari-harinya dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan hanyalah bersifat semu dan sesaat. Konseli tidak dapat mengembangkan nilai positif apabila konseli berpikir sikap hedonism yang diyakininya akan membawanya ke arah kebahagiaan.

    F.  Evaluasi
Dalam proses evaluasi layanan konseling menggunakan pendekatan REBT untuk menangani akulturasi sikap hedonism anak panti adalah dengan menggunakan pedoman observasi untuk melihat perkembangan dan perubahan sikap hedonism konseli sebelum diadakan konseling dengan setelah diadakan konseling. Selain itu, konselor juga dapat meggunakan wawancara karena dengan wawancara konselor dapat menanyakan kepada konseli dan orang terdekat konseli terkait dengan perkembangan dan perubahan sikap hedonis konseli. Setelah menganalisis hasil observasi dan wawancara, konselor dapat mengetahui keefektifan pendekatan REBT dalam menangani akulturasi sikap hedonism anak panti.


DAFTAR PUSTAKA

Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Panduan Efektif Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press
Getrudis Guna Putri, Putri Agusta K. D., Shubhi Najahi. 2013. PERBEDAAN SELF-ACCEPTANCE (PENERIMAAN DIRI) PADA ANAK PANTI ASUHAN DITINJAU DARI SEGI USIA. Bandung : Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5 ISSN: 1858-2559
Winkel, W.S. M.M. Sri Hastuti. 1997. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar