MENANGANI AKULTURASI SIKAP HEDONISME ANAK PANTI MENGGUNAKAN RATIONAL EMOTIVE BEHAVIOR THERAPY (REBT)
Anak yang tinggal di panti asuhan
memiliki latar belakang yang
berbeda-beda, seperti anak yang dibuang oleh orang tuanya, yatim, piatu, yatim
piatu, broken home dan duafa. Dengan latar belakang tersebut menjadikan
perbedaan yang beraneka ragam dalam kepribadian anak meskipun diasuh oleh
pengasuh yang sama. Dengan latar belakang kehidupan anak yang demikian tadi,
mereka tidak hanya membutuhkan bantuan yang sifatnya materi saja namun yang
lebih penting adalah kasih sayang, dukungan, pengarahan, pendidikan dan
perhatian dari pengasuh. Dalam mendidik anak panti, tentunya berbeda dengan
mendidik anak pada umumnya, baik yang tinggal di asrama, di pondok pesantren,
tinggal bersama saudaranya ataupun yang tinggal bersama orang tuanya.
Keberadaan anak pada umumnya
diharapkan oleh kedua orang tuanya, mereka mendapatkan kasih sayang, perhatian,
pengarahan, bimbingan dan tercukupi kebutuhan materinya. Berbeda dengan anak
panti yang merasa keberadaannya tidak diakui, merasa tidak memiliki
siapa-siapa, butuh kasih sayang, perhatian, pengarahan, materi dan sering kali merasa iri dengan
teman-temannya yang ada di luar panti baik yang sifatnya materi maupun non
materi. Selain itu, dengan anak tinggal di panti menjadikan mereka merasa
rendah diri dan tertutup. Dengan latar belakang anak seperti itu, menjadi
tantangan yang besar bagi pengasuh dalam membimbing dan mendidik anak panti
agar mereka memiliki kepribadian yang baik, memiliki semangat hidup yang tinggi
dan memiliki bekal yang baik untuk masa depannya.
Pola pengasuhan dan pendidikan pada
saat anak masih hidup bersama dengan keluarganya sangat berpengaruh terhadap
kelanjutan perkembangan kepribadian anak. Selain itu, apabila anak terbiasa
dengan hidup semaunya sendiri ketika di rumah menjadikan anak susah untuk
beradaptasi dengan tanggung jawabnya sebagai anak panti semisal kewajiban untuk
sholat berjamaah, menjaga kebersihan panti dan inventaris yang dimiliki panti,
mengikuti segala aktivitas yang ada di panti, belajar dengan teratur dan
merawat barang milik pribadi dengan baik. Latar belakang sebelum anak masuk
panti sangat berpengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak sehingga
seorang pengasuh harus dapat menyikapi dan memberikan cara pengarahan yang
berbeda terhadap setiap anak. Apalagi di era modern seperti sekarang ini yang
menilai seseorang dikatakan hebat dari segi kuantitas bukan kualitas.
Perkembangan panti X yang semakin
maju dan dipercaya oleh masyarakat menjadikan banyak donator yang ingin
memberikan sebagian riskinya untuk anak panti, baik berupa uang, makanan, baju
dan lainnya. Dengan semakin sejahteranya panti, memiliki fasilitas yang baik, makanan
yang enak dan sering kali lebih, undangan dari banyak kalangan dan berbagai
bantuan lainnya. Hal ini memiliki nilai positif bagi perkembangan panti untuk
tetap survive tetapi memiliki dampak negative bagi perkembangan anak panti
karena anak panti terbiasa hidup enak, makan enak, memiliki cukup uang untuk
membeli sesuatu yang mereka inginkan. Selain dari fasilitas panti yang memadai,
pola pengasuhan di panti X juga semakin melemah karena pengurus/karyawan panti
lebih terfokus pada administrasi panti dari pada pengasuhan terhadap anak
panti.
Dampak dari gaya hidup yang nikmat
dan pola pengasuhan yang semakin melemah menjadikan munculnya gaya hidup
hedonism anak panti. Gaya hidup hedonism terlihat dari cara mereka memanfaatkan
waktu untuk bersenang-senang seperti menyanyi sambil gitaran dengan tidak
mengenal waktu, menonton TV dengan mencuri-curi waktu, bercanda dan mengobrol
tiada henti, ngumpul sambil makan-makan dan aktivitas lainnya. Hal ini tentu
memberikan dampak bagi tugas mereka sebagai anak panti dan pelajar yaitu memiliki semangat yang rendah
untuk belajar, susah mengikuti kegiatan ubudiah di panti dan kewajiban lainnya.
Dampak negative dari sikap hedonism anak panti adalah anak menjadi
matrealistik, konsumtif dan pro hedonism instan.
Tujuan dari menangani akulturasi
gaya hidup hedonism anak panti menggunakan Rational Emotive Behavior Therapy
(REBT), yaitu :
1.
Membantu anak
panti untuk memperoleh konsep hidup yang baik dan benar, bahwa dengan cara
pandang hidup yang hedonis dengan menggunakan banyak waktunya untuk
bersenang-senang akan merugikan dan menghancurkan masa depan anak panti
2.
Mengubah dan
memperbaiki perilaku hedonis anak panti dengan terlebih dahulu mengubah pola
pikir yang irrasional menjadi rasional, bahwa perilaku hedonis hanya akan
memberikan ketenangan dan kebahagiaan yang sementara yang sifatnya hanya
sebatas kesenangan jasmani dan actual
3.
Menghilangkan
gangguan emosional yang merusak. Dengan gaya hidup hedonism akan menjadikan
emosional anak panti semakin susah terkontrol karena gaya hidup hedonism lebih
cenderung pada pemuasan id.
4.
Membangun
pribadi yang menarik, toleran, komitmen dan mampu berpikir dengan logis
sehingga mampu membangun konsep diri yang tepat dan terhindar dari sifat
matrealistik, konsumtif dan pro hedinisme instan.
C. Komponen
1.
Anak Panti
Anak panti adalah seorang anak yang tinggal di panti asuhan karena
berbagai alasan seperti yatim piatu, yatim, piatu, broken home,
dibuang/diterlantarkan orang tuanya dan duafa. Anak panti cenderung mengalami
kelambatan dalam perkembangannya baik dari sisi intelektual, sosial dan
emosional. Menurut Febiana (dalam
Rosjid,2010), pola pengasuhan anak di panti asuhan menjadi hal yang
memprihatinkan. Pengasuh yang seharusnya diharapkan mampu menggantikan peran
orangtua dalam mengasuh anak, justru tidak bisa menjalankan perannya secara
maksimal karena harus mengasuh banyak anak yang hidup di panti. Hal tersebut
menjadi salah satu penyebab anak di panti asuhan menderita tekanan sosial,
emosional, dan fisik karena trauma pengalaman, kekacauan, dan stress dalam
hidup. Pengalaman traumatis tersebut dapat menyebabkan anak menjadi kurang
percaya diri dan merasa takut akan ditinggalkan, yang kemudian terwujud dalam
kemarahan dan agresi terhadap figur otoritas (Taylor, 2013).
Anak di panti asuhan dapat merespon trauma di kehidupan mereka
dengan menjadi antisosial karena masa lalu yang kacau, kurangnya kontrol dalam
hidup dan ketidakpastian di masa depan. Anak panti asuhan sering mengalami
depresi, gelisah dan mempunyai kesukaran seumur hidup dalam mengembangkan
hubungan yang intim (Behrman, Kliegman, & Arvin, 1996). Hambatan dalam
mengembangkan hubungan yang intim, dapat berpengaruh terhadap interaksi
individu dengan lingkungan sekitarnya. Menurut Derajat (dalam Rosjid, 2010),
selama masa remaja individu mulai membangun perasaan tentang identitas dirinya,
perasaan bahwa dirinya adalah manusia yang unik. Individu juga mulai menyadari
sifat-sifat yang dimiliki dan tujuan-tujuan yang ingin dicapai dimasa depan,
sehingga individu bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sternberg (dalam Gentry
& Campbell, 2002), berpendapat salah satu tahap yang dilewati individu
dalam masa remaja adalah membangun otonomi. Pada saat membangun otonomi, remaja
mulai hidup dengan cara mereka dan sesuai pendapat mereka. Hidup di panti
asuhan dengan aturan yang sudah ada tentu akan membuat remaja merasa di kekang.
Akibat dari perasaan di kekang ini bisa membuat remaja menjadi membangkang atau
sebaliknya menjadi tertutup dan membatasi dirinya dengan dunia luar. Dan
membuat merasa remaja menganggap dirinya berbeda dari individu seusianya, hal
ini tentu akan mempengaruhi penerimaan diri individu.
2.
Gaya Hidup
Hedonisme
Dalam hedonisme terkandung kebenaran yang mendalam, manusia menurut
kodratnya mencari kesenangan dan berupaya menghindari ketidaksenangan.
Psikologi modern, khususnya psikologi yang memanfaatkan psikoanalisis Sigmund
Freud memperlihatkan bahwa kecendrungan manusia itu bahkan terdapat pada taraf
tak sadar. Seringkali manusia mencari kesenangan tanpa diketahuinya. Tidak bisa
disangkal, keinginan akan kesenangan merupakan suatu dorongan yang sangat
mendasar dalam hidup manusia
Para hedonis menpunyai konsepsi yang salah tentang kesenangan.
Mereka berpikir bahwa sesuatu adalah baik, karena disenangi. Akan tetapi.
Kesenangan tidak merupakan suatu perasaan yang subjektif belaka tanpa acuan
objektif apapun. Sebenarnya kesenangan adalah pantulan subjektif dari sesuatu
yang objektif. Sesuatu tidak menjadi baik karena disenangi, tapi sebaliknya
kita merasa senang karena memperoleh atau memiliki sesuatu yang baik.
Kita menilai sesuatu sebagai baik karena kebaikannya yang intrinsik,
bukan karena kita secara subjektif belaka menganggap hal itu baik. Jadi,
kebaikan dari apa yang menjadi objek kesenangan mendahului dan diandalkan oleh
kesenangan itu.
3.
Rational
Emotive Behavior Therapy (REBT)
Terapi rasional
emotif behavior merupakan terapi yang berusaha menghilangkan cara berpikir
konseli yang tidak logis, tidak rasional dan menggantinya dengan sesuatu yang
logis dan rasional dengan cara mengonfrontasikan konseli dengan keyakinan keyakinan
irasionalnya serta menyerang, menentang, mempertanyakan, dan membahas keyakinan-keyakinan
yang irasional.
Konsep-konsep
dasar terapi rasional emotif behavior ini mengikuti pola yang didasarkan pada
teori A-B-C, yaitu:
A = Activating Experence (pengalaman aktif) ialah suatu
keadaan, fakta peristiwa, atau tingkah laku yang dialami individu.
B = Belief System (Cara individu memandang suatu hal).
Pandangan dan penghayatan individu terhadap A.
C = Emotional Consequence (akibat emosional). Akibat
emosional atau reaksi individu positif atau negative.
Menurut pandangan
Ellis, A (pengalaman aktif) tidak langsung menyebabkan timbulnya C (akibat
emosional), namun bergantung pada B (belief system). Hubungan dan teori
A-B-C yang didasari tentang teori rasional emotif dari Ellis dapat digambarkan
sebagai berikut:
A--------C
Keterangan:
---: Pengaruh tidak langsung
B: Pengaruh langsung
Teori A-B-C tersebut, sasaran utama yang harus diubah adalah aspek
B (Belief Sistem) yaitu bagaimana caranya seseorang itu memandang atau
menghayati sesuatu yang irasional, sedangkan konselor harus berperan sebagai
pendidik, pengarah, mempengaruhi, sehingga dapat mengubah pola pikir konseli
yang irasional atau keliru menjadi pola pikir yang rasional.
D.
Kompetensi Konselor
Konselor yang menggunakan pendekatan Rational Emotive
Behavior Terapy harus mampu menjadi fasilitator, pembimbing dan pendamping
konseli dalam perannya membantu konseli mengatasi masalah yang sedang dihadapi
sehingga konseli dapat secara sadar dan mandiri mengembangkan atau meningkatkan
potensi-potensi yang dimilikinya. Konselor berperan lebih aktif dibandingkan
konseli dan konselor memiliki kemampuan untuk membantu konseli mengubah cara
berpikir yang irrasional menjadi rasional.
E.
Strategi
1. Teknik-Teknik Rational Emotive Behavior Therapy yang dapat digunakan dalam
proses konseling, yaitu :
a.
Teknik-Teknik Kognitif
Teknik kognitif adalah teknik yang
digunakan untuk mengubah cara berfikir klien. Dewa Ketut menerangkan ada empat
tahap dalam teknik-teknik kognitif:
1) Tahap Pengajaran
Dalam REBT, konselor mengambil peranan lebih aktif
dari pelajar. Tahap ini memberikan keleluasaan kepada konselor untuk berbicara
serta menunjukkan sesuatu kepada klien, terutama menunjukkan bagaimana ketidak
logikaan berfikir itu secara langsung menimbulkan gangguan emosi kepada klien
tersebut.
2) Tahap Persuasif
Meyakinkan klien untuk mengubah
pandangannya karena pandangan yang ia kemukakan itu tidak benar. Dan Konselor
juga mencoba meyakinkan, berbagai argumentasi untuk menunjukkan apa yang
dianggap oleh klien itu adalah tidak benar.
3) Tahap Konfrontasi
Konselor mengubah ketidak logikaan
berfikir klien dan membawa klien ke arah berfikir yang lebih logika.
4) Tahap Pemberian Tugas
Konselor memberi tugas kepada klien
untuk mencoba melakukan tindakan tertentu dalam situasi nyata. Misalnya,
menugaskan klien bergaul dengan anggota masyarakat kalau mereka merasa
dipencilkan dari pergaulan atau membaca buku untuk memperbaiki kekeliruan
caranya berfikir.15
b.
Teknik-Teknik Emotif
Teknik-teknik emotif
adalah teknik yang digunakan untuk
mengubah emosi klien. Antara teknik yang sering digunakan ialah:
1) Teknik Sosiodrama
Memberi peluang mengekspresikan
berbagai perasaan yang menekan klien itu melalui suasana yang didramatisasikan
sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri secara lisan,
tulisan atau melalui gerakan dramatis.
2) Teknik Self
Modelling
Digunakan dengan meminta klien berjanji
dengan konselor untuk menghilangkan perasaan yang menimpanya. Dia diminta taat setia
pada janjinya.
3) Teknik Assertive
Training
Digunakan untuk melatih, mendorong dan
membiasakan klien dengan pola perilaku tertentu yang diinginkannya.
c.
Teknik-Teknik Behaviouristik
Terapi Rasional
Emotif banyak menggunakan
teknik behavioristic terutama dalam hal upaya modifikasi perilaku negatif
klien, dengan mengubah akar-akar keyakinannya yang tidak rasional dan tidak
logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah:
1) Teknik reinforcement
Teknik reinforcement
(penguatan), yaitu: untuk mendorong klien
ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis denagn jalan memberikan
pujian verbal (reward) ataupun hukuman (punishment). Teknik
ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai-nilai dan keyakinan yang
irasional pada klien dan menggantinya dengan sistem nilai yang lebih positif.
2) Teknik social
modeling (pemodelan
sosial)
Teknik social
modeling (pemodelan
sosial), yaitu: teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada klien.
Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan
dengan cara mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan
menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan maslah
tertentu yang telah disiapkan konselor.
3) Teknik live
models
Teknik live
models (mode
kehidupan nyata), yaitu teknik yang digunakan untuk menggambar perilaku-perilaku
tertentu. Khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk
percakapan percakapan sosial, interaksi dengan memecahkan maslah-masalah.
2.
Prosedur
Konseling
a.
Assesment
1)
Konseli
memiliki sikap hedonis dalam hidupnya sehingga konseli memiliki semangat yang
rendah dalam belajar, beribadah dan melakukan aktivitas yang positif
2)
Bentuk
dari sikap hedonis yang dilakukan oleh konseli yaitu banyak menggunakan
waktunya untuk tidur, menyanyi, bercanda, bermain, sering pulang ke panti malam
hari dan konsumtif
3)
Konseli
memiliki latar belakang yang kurang baik. Orang tuanya broken home dan ayahnya
menelantarkan keluarganya sehingga konseli begitu membenci ayahnya
4)
Konseli
dititipkan di panti karena ibunya tidak mampu untuk memberikan pendidikan,
pengasuhan dan kehidupan yang layak bagi konseli. Selain itu, keluarga konseli
juga merasa kewalahan dalam mengasuh konseli karena konseli berani melawan
orang tuanya dan sangat susah dinasehati.
b.
Goal
Setting
Mengubah cara berpikir dan berperilaku
konseli yang tidak logis menjadi logis sehingga konseli mampu mengubah sikap
hedonism kearah sikap yang positif. Dengan demikian, konseli mampu meningkatkan
kualitas dirinya ke arah yang lebih positif yaitu memiliki semangat belajar
yang tinggi, rajin beribadah dan memiliki semangat hidup yang baik.
c.
Langkah-langkah
Konseling
1)
Langkah
Pertama
Konselor menggunakan teknik kognitif
berupa teknik pengajaran. Konselor menunjukkan kepada konseli bahwa sikap
hedonismenya yang akan menghancurkan masa depannya berkaitan dengan keyakinan-keyakinan
yang irrasional. Konselor menunjukkan bahwa konseli mengembangkan pikiran
hedonism pada perilakunya yang hedonis. Sikap hedonis akan menjadikan konseli
bersifat matrealistik, konsumtif dan menilai keberhasilan secara instan
(hedonism instan)
2)
Langkah
Kedua
Konselor menggunakan teknik emotif
berupa teknik self modeling dan assertive training. Konselor menunjukkan kepada
konseli bahwa sikap hedonism konseli berkaitan dengan gangguan emosionalnya.
Apabila konseli selalu berkehendak untuk menuruti kesenangannya yang cenderung
mengarah pada id, kesenangan tersebut hanya bersifat actual dan jasmani yang
akan merugikan masa depan konseli. Selain itu, konselor juga memberikan
kebebasan kepada konseli untuk mengungkapkan perasaan-perasaan tertekannya yang
mendasari sikap hedonism konseli.
3)
Langkah
Ketiga
Konselor menggunakan teknik kognitif
berupa teknik konfrontasi dan teknik behavioristic berupa teknik reinforcement.
Konselor mengajarkan kepada konseli untuk memperbaiki pikiran-pikirannya dan meninggalkan
gagasan-gagasan irrasionalnya. Apabila konseli ingin memperoleh ketenangan jiwa
dengan sikap hedonism, contohnya adalah menghabiskan banyak waktu untuk
bercanda, belanja yang tidak perlu, bermain sehingga pulang panti terlambat dan
sejenisnya. Hal demikian adalah cara berpikir dan tindakan yang salah karena
cara tersebut akan memberikan dampat negative bagi perkembangan konseli.
Konseli harus memperbaiki cara berpikirnya bahwa untuk dapat mencapai ketenangan
jiwa adalah dengan melakukan usaha-usaha yang positif seperti mentaati aturan
panti dengan rajin beribadah, rajin belajar, mengikuti acara yang diadakan di
panti dan lainnya. Hal demikian tentunya memiliki nilai juang yang sifat
kesenangannya bersifat batiniah yang dapat memberikan nilai positif bagi
perkembangan konseli.
4)
Langkah
Keempat
Konselor menggunakan teknik kognitif
berupa teknik dan teknik behavioristic berupa teknik live models. Konselor menentang
konseli untuk mengembangkan filosofis kehidupannya yang rasional dan menolak
kehidupan yang irrasional. Sikap hedonism yang dikembangkan oleh konseli dalam
kehidupan sehari-harinya dengan tujuan untuk memperoleh kebahagiaan hanyalah
bersifat semu dan sesaat. Konseli tidak dapat mengembangkan nilai positif
apabila konseli berpikir sikap hedonism yang diyakininya akan membawanya ke
arah kebahagiaan.
F.
Evaluasi
Dalam proses evaluasi layanan
konseling menggunakan pendekatan REBT untuk menangani akulturasi sikap hedonism
anak panti adalah dengan menggunakan pedoman observasi untuk melihat
perkembangan dan perubahan sikap hedonism konseli sebelum diadakan konseling
dengan setelah diadakan konseling. Selain itu, konselor juga dapat meggunakan
wawancara karena dengan wawancara konselor dapat menanyakan kepada konseli dan
orang terdekat konseli terkait dengan perkembangan dan perubahan sikap hedonis
konseli. Setelah menganalisis hasil observasi dan wawancara, konselor dapat
mengetahui keefektifan pendekatan REBT dalam menangani akulturasi sikap
hedonism anak panti.
DAFTAR PUSTAKA
Asmani, Jamal Ma’mur. 2010. Panduan Efektif Bimbingan dan
Konseling di Sekolah. Yogyakarta: DIVA Press
Getrudis Guna Putri, Putri Agusta K. D., Shubhi Najahi. 2013.
PERBEDAAN SELF-ACCEPTANCE (PENERIMAAN DIRI) PADA ANAK PANTI ASUHAN DITINJAU
DARI SEGI USIA. Bandung : Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra,
Arsitektur & Teknik Sipil) Vol. 5 ISSN: 1858-2559
Winkel, W.S. M.M. Sri Hastuti. 1997. Bimbingan dan
Konseling di Institusi Pendidikan. Jakarta: PT Gramedia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar